Perang Sains di Pengadilan

Sepintas, ilmu sains dan ilmu hukum ada dalam dua dunia yang berbeda. Yang satu ilmu eksakta, yang lain ilmu sosial. Bagi pelajar SMA, yang satu dipelajari di jurusan IPA, yang lain di jurusan IPS. Namun, seiring dengan berkembangnya tingkat kejahatan, para praktisi hukum di tuntut untuk memahami sains. Demikian juga para ilmuwan juga mau tak mau, harus berurusan dengan hukum. Bagaimana hal itu bisa terjadi? Tentu saja karena ada jembatan yang menghubungkan keduanya, yaitu ilmu Forensik.

Dinamika Forensik

Dalam Film thriller ala Hollywood, seringkali kita berdecak kagum dengan investigasi yang dilakukan terhadap perkara kriminal. Sang pemeran utama, seorang detektif hebat (biasanya diperankan aktor yang tampan) akan segera menghubungi ahli forensik untuk mengidentifikasi korban pembunuhan. Dalam waktu sekejap, pakar yang cerdas itu menunjukkan sederet hasil tes dilaboratorium kepada sang detektif. Dengan sedikit bumbu ilmu forensik, film action ini pun terlihat dikemas dengan cerdas. Pada kasus lain, jutaan pemirsa yang menonton acara Crime Scene Investigation akan terpesona melihat betapa hebatnya ilmu forensik yang datang bak pahlawan untuk menyeret sang pelaku kejahatan ke dalam penjara. Namun, apakah kenyataan di lapangan memang seindah “negeri dongeng”?

Penerapan ilmu forensik dalam kasus kriminal memang susah-susah gampang. Bila riset sains yang lain cukup diperdebatkan dikalangan intern para ilmuwan saja, kasus forensik bisa mengundang kontroversi di media massa. Kematian penyanyi pop legendaris, Michael Jackson hanyalah salah satu contohnya. Di Indonesia, kita dapat melihat kasus kematian Munir, sang pejuang anti korupsi , yang penyebabnya masih kontroversial. Forensik pun menjadi sorotan. Maklum, Sederet data atau angka tertentu dari laboratorium dapat menentukan takdir hidup seorang tersangka kriminal.

Dilema Akademisi dan Praktisi

Ilmu Forensik lebih banyak dipengaruhi oleh kebutuhan di bidang hukum dan seringkali melewatkan protokol standar ilmu akademik yang berbelit-belit. Akibatnya, mayoritas metode dan alat yang ditemukan seperti sidik jari, analisa rambut sampai perbandingan serat muncul ke publik dengan cepat tanpa ujicoba seakurat ilmuwan bioteknologi yang menemukan spesies baru. Ini wajar, bila mengingat kejahatan yang merajalela tak bisa menunggu terlalu lama.

Disinilah letak jurang antara akademisi dan praktisi. Para akademisi yang cenderung teoritis menilai bahwa para ahli forensik hanya  memiliki sedikit perbandingan untuk memperkirakan kadar penyimpangan data. Mereka mengabaikan banyak protokol wajib. Contohnya analisa DNA dan fMRI yang telah diterapkan sebelum terbukti valid untuk digunakan. Sementara para ahli forensik sering kesal pada rekan-rekannya dikalangan akademik yang baru melancarkan kritikan setelah prosedur operasional dilakukan.

Untuk menjembatani perbedaan ini, kongres Amerika membentuk National Institute of Forensic Science yang memiliki kekuatan yang seimbang di dua bidang, teori maupun praktek. Institusi ini diharapkan dapat membangun prosedur standar maupun dukungan penuh pada ahli forensik.

Sains Masuk Pengadilan
Pada umumnya fMRI (functional magnetic resonance imaging) digunakan oleh para dokter untuk mendeteksi gegar otak atau kanker otak. Namun, alat ini muncul di pengadilan Chichago gara-gara kasus pembunuhan beruntun yang dilakukan Brian Dugan. Sang psikopat ini terbukti merampok dan membunuh dengan keji, salah satu korbannya gadis kecil berusia 7 tahun.  Atas kesalahannya, ia diancam hukuman mati.

Adalah Kent Kiehl, seorang pakar syaraf dari University of New Mexico yang terobsesi dengan struktur otak para psikopat. Ia meng-scan otak pembunuh berdarah dingin ini dengan fMRI dan melakukan serangkaian wawancara dengan Brian. Hasilnya, ia menyimpulkan adanya kerusakan nyata dibagian paralimbic system di otak, yang berperan dalam mengatur emosi. Sebenarnya, Kiehl hanya bermaksud untuk memenuhi panggilan profesinya, yaitu mematahkan stigma negatif tentang psikopat dan menolong mereka dengan terapi untuk berhenti melakukan kejahatan. Sebuah maksud yang mulia. Tentu saja, pengacara Dugan segera menyambar kesempatan ini.

Ngotot Membela Psikopat

Kasus Brian adalah kasus pertama didunia yang menghadirkan alat fMRI sebagai bukti. Joseph Birkett, jaksa penuntut berargumen bahwa kehadiran halaman berwarna hasil scan otak tersebut dapat mengecoh para juri sehingga hakim melarang dewan juri untuk melihatnya. Akan tetapi Kiehl diizinkan untuk mendeskripsikan bagaimana struktur otak Brian Dugan kepada mereka.

Jadilah ilmuwan ini berdiri di pengadilan selama 6 jam, lengkap dengan slide presentasi dan panjang lebar “memberi kuliah” tentang struktur otak seorang psikopat. Riset Kiehl menawarkan argumen persuasif bahwa dengan “kerusakan otak” nya, Brian sendiri tidak sanggup mengontrol dorongannya untuk membunuh. Brian sesungguhnya hanya “pasien sakit jiwa”. Pembelaan ini memicu reaksi keras dari banyak pihak.

Prof. Stephen Morse yang memiliki dua gelar, di bidang hukum dan juga psikiatri dari University of Pennsylvania berkata,”Hukum didasarkan pada rasionalitas individu dan tindakan yang dilakukan, bukan pada otak dan aliran darah. Otak tidak membunuh manusia. Manusialah yang membunuh manusia”

Hari berikutnya, jaksa penuntut menghadirkan ilmuwan yang lain Jonathan Brodie, psikiatri dari New York University. Ia menolak semua argumen Kiehl. Alasannya, ilmuwan tersebut meng-scan otak Brian, 26 tahun sesudah ia melakukan pembunuhann pertama. Bisa jadi otak Brian saat itu masih normal.  Setelah berulang-ulang membunuh, tidak heran bila otaknya berubah menjadi otak pembunuh.

Akhirnya dewan juri memutuskan bahwa Brian Dugan diganjar hukuman mati. Namun, Brodie tetap mengakui dari sisi teknis, Kiehl telah melakukan tugasnya dengan sangat baik.

Peluang Bisnis

Walaupun gagal, Kiehl telah menorehkan sejarah baru dengan menjadikan kajian ilmiahnya menjadi tren baru. Belasan pengacara menghubunginya untuk jasa pelayanan yang sama. Khiel yang terobsesi dengan para psikopat itu meng-scan semua otak mereka dengan senang hati. Mayberg, seorang peneliti menyatakan keberatannya. Menurutnya ilmuwan seharusnya murni bicara atas nama sains, bukannya memanfaatkan issue demi agenda penelitian pribadinya. Namun, Khiel ngotot bahwa ia begitu “terpanggil” untuk memberi pengertian yang benar tentang pribadi psikopat.

Sementara itu, para pengusaha di Amerika Serikat jeli mencium peluang bisnis baru. “Sales” alat fMRI telah mengetuk banyak pintu pengadilan. Perusahaan Cephos di Massachusetts dan No Lie MRI di San Diego optimis penjualan mereka akan meningkat seperti alat tes kebohongan, polygraph. Wah, bagaimanapun juga, bisnis tetaplah bisnis…

Pemakaian teknologi canggih memang belum membumi di Indonesia. Namun, tidak ada salahnya kita belajar dari negara maju, bagaimana dampak sains dalam penegakan hukum. Kesimpulannya, seorang ilmuwan selayaknya melayani masyarakat dengan pengetahuannya. Jenius saja tidak cukup. Alangkah baiknya jika kecerdasan berjalan beriringan dengan kebijaksanaan.

http://www.nature.com/scienceincourt

http://www.nature.com/news/specials/scienceincourt/index.html#features

This entry was posted in Hukum and tagged , , . Bookmark the permalink.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *